(Sani Maria)
San Bona, 28 Agustus
2018
Sebuah perjalanan panjang yang kini sudah tak lagi belia
usianya.
Peristiwa itu terjadi ketika Rian hendak berangkat ke tempat
kerja yang memakan waktu kurang lebih 10 menit perjalanan dengan menggunakan
kendaraan roda dua.Setiba di persimpangan jalan, motor
yang Rian tumpangi pun berhenti. Akibat lajur arus kendaraan dari arah utara
yang cukup padat sehingga memaksa kami untuk mengambil langkah berhenti kurang
lebih 5 menit.
Seketika ia teringat akan sosok bocah berambut hitam lurus,
memiliki kulit sawo matang serta postur badan yang sesuai dengan anak seusianya
kala itu.
Entah mengapa, pagi itu, hari Senin. Waktunya upacara
bendera. Waktu yang terlampau sangat jauh, sangat lama pula untuk diingat.
Pukul 06.30 sedianya adalah waktu yang tepat bagi Rian untuk berangkat ke
sekolah ditemani sang ayah yang sekaligus mengantar dan menunggu tumpangan.
Menuju mata jalan utama, tempat di mana lalu lalang kendaraan umum terhitung di
sana. Yah, Bemoyang merupakan salah
satu angkutan umum yang laris manis terkenal di salah satu kota bumi sandlewood
masa itu. Sang ayah yang sama sekali tidak piawai mengemudikan kendaraan, baik
itu kendaraan roda empat maupun roda dua, sesekali memutuskan untuk menghantar
Rian ke mata jalan umum, tempat biasa di mana berjajal para calon penumpang
berdiri dengan aneka gaya di sana. Saat sang ayah berhasil menghentikan laju
bemo, terlihat ia pun tengah membuka percakapan yang ramah dengan supir
tersebut. Goresan senyum perlahan terurai di sana. Ada kesepakatan. Yang
pastinya sang ayah tak lupa untuk menyampaikan alamat tujuan Rian kecil. Ayah
merogok kantong bajunya, mengeluarkan selembar uang merah untuk membayar jasa
tumpangan angkutan tersebut.
Adalah di suatu pagi, di hari Senin yang cerah. Matahari
kembali menunjukkan kekuasaannya. Waktu yang terus berputar kembali mengantar
Rian bersama ayahnya untuk melangkahkan kaki menuju jalan raya beraspal itu.
Bersama sang ayah yang murah senyum, ia semakin yakin untuk menyusuri jalanan
yang mayoritas bebatuan nan tandus yang membentang di depan rumahnya. Sesekali
tangan mungilnya berada dalam genggaman ayahnya. Hangat terasa. Ada senyum bahagia
yang tercipta saat ayah berhasil mengeluarkan bebatuan kecil yang masuk ke
dalam sepatu sekolah. Sesekali ayah berusaha menghibur Rian tatkala anak
pertamanya itu berangkat ke sekolah dengan wajah yang cemberut bahkan sesekali
menangis.Ketika sepasang insan itu tiba di tempat yang dimaksud, hal buruk
menimpa.
Rupa-rupanya bemo sedang tidak berpihak pada keduanya. Entah
dikarenakan sedang ada demo yang terjadi sehingga menyebabkan tidak ada satu
pun bemo yang lalu lalang di jalanan, atau padatnya jumlah penumpang pagi itu,
sehingga sudah tidak lagi menyisihkan tempat bagi keduanya. Jarangnya bemo yang
ditemui, ditambah lagi tingkat pengguna jasa bemo yang begitu banyak, tak heran
kalau bemo yang dijumpai selalu full
muatan. Melihat peristiwa itu sedang menimpa mereka berdua, ayah tetap berusaha
menenangkan bahkan meyakinkan Rian bahwa semua akan baik-baik saja. Ia
memastikan bahwa Rian tidak akan terlambat untuk tiba di sekolah.
Dari arah barat, sebuah motor vespa berwarna putih perlahan
melintas ruas jalan. Terlihat laju kecepatannya pun dikurangi. Persis dihadapan
ayah dan Rian. Pengemudi vespa yang tidak lain adalah om Goris. Teman sekantor
ayah. Ada diskusi ringan yang tercipta pagi itu antara ayah dan om Goris.
Setelah melewati diskusi ringan yang berujung tawa pada kedua lelaki paruh baya
itu, om Goris pun meminta ayah untuk menggendong Rian dan menempatkannya pada
tempat duduk persis di bagian belakang pengemudi vespa. Rupanya om Goris
bersedia mengantarkan Rian ke sekolah pagi itu. Tidak ada lagi desak-desakan,
tidak ada lagi yang bergelantungan ramai layaknya konjak, tidak ada lagi 1001 aroma parfum yang tercium, tidak ada
lagi keringat, tidak ada lagi pemberhentian penumpang dan calon penumpang. Yang
ada hanyalah sukacita. Ia bisa ke sekolah dan diantar dengan menggunakan sepeda
motor. Belum ada tekanan yang tercipta.
Pagi itu, ayah memutuskan untuk pergi sedikit lebih
terlambat ke kantor. Entah apa alasannya. Ayah mungkin tidak tahu, kalau ini
adalah pengalaman pertama bagi Rian. Dalam perjalanan, rupanya Rian berada
dalam tekanan.
Pertama. Bilamana jika ia terlambat tiba di sekolah. Pintu pagar
sekolah masihkah terbuka menyambutnya ataukah sudah tertutup menyuruhnya
pulang?
Kedua.Ini adalah pengalaman pertamanya menumpangi sepeda motor
tanpa kawalan di area belakang.
Keringat dingin bak bulir-bulir jagung pun tercipta pagi
itu, menyusuri ruas jalan yang dilalui, di tengah hembusan angin yang kencang.
Seketika muncul dalam pikirannya, bilamana jika ia terjatuh nanti. Kali ini
irama detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari pagi kemarin.
Rian yang
kala itu duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, memutuskan untuk mendaratkan
pegangannya pada sebuah besi yang berada tepat di bagian belakang kursi kemudi
vespa. Sesekali ia mengaitkan kedua tangannya pada jaket berbahan kain yang
dikenakan oleh om Goris. Om Goris pun menanggapinya dengan senyum.
“Aeh, anak ini sekarang sudah SD e. Cita-cita nanti mau jadi
apa?”, om Goris bertanya diiringi dialeg Lembata yang kental. Sebuah pertanyaan
yang singkat dan sederhana untuk anak seusia Rian. “Sekolah dulu, om.”, jawab
Rian singkat. Om Goris pun tertawa lepas tanpa memikirkan apa yang sedang
dialami oleh Rian. “Saya mau jadi perawat, om”, Rian membathin. Pernyataan itu
rupanya ia bungkus sendiri hingga tiba persis di depan gerbang sekolah. Tampak
senyuman tergambar di wajah Rian. Seturunnya dari motor dengan dibantu oleh om
Goris, Rian pun mengucapkan terima kasih sambil mengulurkan tangan kemudian
ritual salim tangan pun terjadi. Om Goris tersenyum kemudian menyapu lembut
kepala bocah itu. Rian mengambil langkah seribu menghampiri kerumunan temannya
yang sedang berdiri bergerombol di pinggir lapangan. Tak lupa ia membalikan
badan lalu melambaikan tangan kanannya ke arah om Goris yang perlahan mulai menggerakkan
vespa-nya dengan bantuan mesin.
***
Senin yang sama. Dalam putaran rotasi waktu yang berbeda,
Rian kembali dihadapkan pada situasi yang serupa namun tak lagi sama. Dalam
hatinya ia merasa bersyukur karena pada hari Senin masa itu, 21 tahun silam, ia
tidak mengutarakan cita-citanya pada om Goris. Ia hanya membathin seorang.
Kini, ia melihat ada banyak Rian-Rian kecil di sekitarnya. Mengisi waktu pagi
dengan berlari-lari kecil, berkejar-kejaran, melompat, tertawa bersama tanpa
terlihat ada beban yang dirasakan.
Seperti melihat kembali masa kecilnya di pagi itu.
Ingatannya mengajaknya kembali bertamasya menemui Rian kecil dua puluh satu
tahun silam. Dan Rian berhasil. Ia pun tiba di situ.
Rian tetap
memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Melewati hari bahkan mimpi yang hampir
selesai ditenunnya dengan berbekal senyum tulus sang ayah dan teriakan khas
ibunya. Bermil-mil jarak yang memisahkan tak heran jika mereka sama-sama saling
mendulang rindu. Dan untuk mengenang kembali semuanya itu, ia pun Merayakan Masa Kecil-nya dengan menyulam
kembali kisahnya pada kanvas hidup di usia yang ke dua puluh delapan tahun
empat bulan enam hari.
Gambar : https://www.google.co.id/search?q=gambar+karikatur+masa+kecil+anak+bersama+ayah&safe=strict&tbm=isch&tbs=rimg:CZ_1hNiGTxHISIjgxQFjnUpViovDrY8KNI-dTaSkCZ897vE0Z7AFeq75JDe18Zcn6v9GPfZ1VuRHF38Ny6sMANERO1SoSCTFAWOdSlWKiEcQW1SIQoGYLKhIJ8Otjwo0j51MRNXKCFqK_1HwQqEglpKQJnz3u8TRGxjqsoJkpZAioSCRnsAV6rvkkNEXj31195Ky4lKhIJ7Xxlyfq_10Y8RIjLAoFPMhq8qEgl9nVW5EcXfwxF5WYNeWzzAZCoSCXLqwwA0RE7VEYsZ9rU9BIDB&tbo=u&sa=X&ved=2ahUKEwjCrOC6-ebdAhXLPY8KHdSTAQMQ9C96BAgBEBs&biw=1366&bih=657&dpr=1#imgdii=nmHAurdaFYD9AM:&imgrc=O5b_1fIAHlMpEM:
)



