Selasa, 02 Oktober 2018

Merayakan Masa Kecil


(Sani Maria)



San Bona, 28 Agustus 2018

Sebuah perjalanan panjang yang kini sudah tak lagi belia usianya.
Peristiwa itu terjadi ketika Rian hendak berangkat ke tempat kerja yang memakan waktu kurang lebih 10 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua.Setiba di persimpangan jalan, motor yang Rian tumpangi pun berhenti. Akibat lajur arus kendaraan dari arah utara yang cukup padat sehingga memaksa kami untuk mengambil langkah berhenti kurang lebih 5 menit.
Seketika ia teringat akan sosok bocah berambut hitam lurus, memiliki kulit sawo matang serta postur badan yang sesuai dengan anak seusianya kala itu.
Entah mengapa, pagi itu, hari Senin. Waktunya upacara bendera. Waktu yang terlampau sangat jauh, sangat lama pula untuk diingat. Pukul 06.30 sedianya adalah waktu yang tepat bagi Rian untuk berangkat ke sekolah ditemani sang ayah yang sekaligus mengantar dan menunggu tumpangan. Menuju mata jalan utama, tempat di mana lalu lalang kendaraan umum terhitung di sana. Yah, Bemoyang merupakan salah satu angkutan umum yang laris manis terkenal di salah satu kota bumi sandlewood masa itu. Sang ayah yang sama sekali tidak piawai mengemudikan kendaraan, baik itu kendaraan roda empat maupun roda dua, sesekali memutuskan untuk menghantar Rian ke mata jalan umum, tempat biasa di mana berjajal para calon penumpang berdiri dengan aneka gaya di sana. Saat sang ayah berhasil menghentikan laju bemo, terlihat ia pun tengah membuka percakapan yang ramah dengan supir tersebut. Goresan senyum perlahan terurai di sana. Ada kesepakatan. Yang pastinya sang ayah tak lupa untuk menyampaikan alamat tujuan Rian kecil. Ayah merogok kantong bajunya, mengeluarkan selembar uang merah untuk membayar jasa tumpangan angkutan tersebut.
Adalah di suatu pagi, di hari Senin yang cerah. Matahari kembali menunjukkan kekuasaannya. Waktu yang terus berputar kembali mengantar Rian bersama ayahnya untuk melangkahkan kaki menuju jalan raya beraspal itu. Bersama sang ayah yang murah senyum, ia semakin yakin untuk menyusuri jalanan yang mayoritas bebatuan nan tandus yang membentang di depan rumahnya. Sesekali tangan mungilnya berada dalam genggaman ayahnya. Hangat terasa. Ada senyum bahagia yang tercipta saat ayah berhasil mengeluarkan bebatuan kecil yang masuk ke dalam sepatu sekolah. Sesekali ayah berusaha menghibur Rian tatkala anak pertamanya itu berangkat ke sekolah dengan wajah yang cemberut bahkan sesekali menangis.Ketika sepasang insan itu tiba di tempat yang dimaksud, hal buruk menimpa.
Rupa-rupanya bemo sedang tidak berpihak pada keduanya. Entah dikarenakan sedang ada demo yang terjadi sehingga menyebabkan tidak ada satu pun bemo yang lalu lalang di jalanan, atau padatnya jumlah penumpang pagi itu, sehingga sudah tidak lagi menyisihkan tempat bagi keduanya. Jarangnya bemo yang ditemui, ditambah lagi tingkat pengguna jasa bemo yang begitu banyak, tak heran kalau bemo yang dijumpai selalu full muatan. Melihat peristiwa itu sedang menimpa mereka berdua, ayah tetap berusaha menenangkan bahkan meyakinkan Rian bahwa semua akan baik-baik saja. Ia memastikan bahwa Rian tidak akan terlambat untuk tiba di sekolah.
Dari arah barat, sebuah motor vespa berwarna putih perlahan melintas ruas jalan. Terlihat laju kecepatannya pun dikurangi. Persis dihadapan ayah dan Rian. Pengemudi vespa yang tidak lain adalah om Goris. Teman sekantor ayah. Ada diskusi ringan yang tercipta pagi itu antara ayah dan om Goris. Setelah melewati diskusi ringan yang berujung tawa pada kedua lelaki paruh baya itu, om Goris pun meminta ayah untuk menggendong Rian dan menempatkannya pada tempat duduk persis di bagian belakang pengemudi vespa. Rupanya om Goris bersedia mengantarkan Rian ke sekolah pagi itu. Tidak ada lagi desak-desakan, tidak ada lagi yang bergelantungan ramai layaknya konjak, tidak ada lagi 1001 aroma parfum yang tercium, tidak ada lagi keringat, tidak ada lagi pemberhentian penumpang dan calon penumpang. Yang ada hanyalah sukacita. Ia bisa ke sekolah dan diantar dengan menggunakan sepeda motor. Belum ada tekanan yang tercipta.
Pagi itu, ayah memutuskan untuk pergi sedikit lebih terlambat ke kantor. Entah apa alasannya. Ayah mungkin tidak tahu, kalau ini adalah pengalaman pertama bagi Rian. Dalam perjalanan, rupanya Rian berada dalam tekanan.
Pertama. Bilamana jika ia terlambat tiba di sekolah. Pintu pagar sekolah masihkah terbuka menyambutnya ataukah sudah tertutup menyuruhnya pulang?
Kedua.Ini adalah pengalaman pertamanya menumpangi sepeda motor tanpa kawalan di area belakang.
Keringat dingin bak bulir-bulir jagung pun tercipta pagi itu, menyusuri ruas jalan yang dilalui, di tengah hembusan angin yang kencang. Seketika muncul dalam pikirannya, bilamana jika ia terjatuh nanti. Kali ini irama detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari pagi kemarin.
            Rian yang kala itu duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, memutuskan untuk mendaratkan pegangannya pada sebuah besi yang berada tepat di bagian belakang kursi kemudi vespa. Sesekali ia mengaitkan kedua tangannya pada jaket berbahan kain yang dikenakan oleh om Goris. Om Goris pun menanggapinya dengan senyum.
“Aeh, anak ini sekarang sudah SD e. Cita-cita nanti mau jadi apa?”, om Goris bertanya diiringi dialeg Lembata yang kental. Sebuah pertanyaan yang singkat dan sederhana untuk anak seusia Rian. “Sekolah dulu, om.”, jawab Rian singkat. Om Goris pun tertawa lepas tanpa memikirkan apa yang sedang dialami oleh Rian. “Saya mau jadi perawat, om”, Rian membathin. Pernyataan itu rupanya ia bungkus sendiri hingga tiba persis di depan gerbang sekolah. Tampak senyuman tergambar di wajah Rian. Seturunnya dari motor dengan dibantu oleh om Goris, Rian pun mengucapkan terima kasih sambil mengulurkan tangan kemudian ritual salim tangan pun terjadi. Om Goris tersenyum kemudian menyapu lembut kepala bocah itu. Rian mengambil langkah seribu menghampiri kerumunan temannya yang sedang berdiri bergerombol di pinggir lapangan. Tak lupa ia membalikan badan lalu melambaikan tangan kanannya ke arah om Goris yang perlahan mulai menggerakkan vespa-nya dengan bantuan mesin. 

***

Senin yang sama. Dalam putaran rotasi waktu yang berbeda, Rian kembali dihadapkan pada situasi yang serupa namun tak lagi sama. Dalam hatinya ia merasa bersyukur karena pada hari Senin masa itu, 21 tahun silam, ia tidak mengutarakan cita-citanya pada om Goris. Ia hanya membathin seorang. Kini, ia melihat ada banyak Rian-Rian kecil di sekitarnya. Mengisi waktu pagi dengan berlari-lari kecil, berkejar-kejaran, melompat, tertawa bersama tanpa terlihat ada beban yang dirasakan.
Seperti melihat kembali masa kecilnya di pagi itu. Ingatannya mengajaknya kembali bertamasya menemui Rian kecil dua puluh satu tahun silam. Dan Rian berhasil. Ia pun tiba di situ.
            Rian tetap memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Melewati hari bahkan mimpi yang hampir selesai ditenunnya dengan berbekal senyum tulus sang ayah dan teriakan khas ibunya. Bermil-mil jarak yang memisahkan tak heran jika mereka sama-sama saling mendulang rindu. Dan untuk mengenang kembali semuanya itu, ia pun Merayakan Masa Kecil-nya dengan menyulam kembali kisahnya pada kanvas hidup di usia yang ke dua puluh delapan tahun empat bulan enam hari.









Gambar : https://www.google.co.id/search?q=gambar+karikatur+masa+kecil+anak+bersama+ayah&safe=strict&tbm=isch&tbs=rimg:CZ_1hNiGTxHISIjgxQFjnUpViovDrY8KNI-dTaSkCZ897vE0Z7AFeq75JDe18Zcn6v9GPfZ1VuRHF38Ny6sMANERO1SoSCTFAWOdSlWKiEcQW1SIQoGYLKhIJ8Otjwo0j51MRNXKCFqK_1HwQqEglpKQJnz3u8TRGxjqsoJkpZAioSCRnsAV6rvkkNEXj31195Ky4lKhIJ7Xxlyfq_10Y8RIjLAoFPMhq8qEgl9nVW5EcXfwxF5WYNeWzzAZCoSCXLqwwA0RE7VEYsZ9rU9BIDB&tbo=u&sa=X&ved=2ahUKEwjCrOC6-ebdAhXLPY8KHdSTAQMQ9C96BAgBEBs&biw=1366&bih=657&dpr=1#imgdii=nmHAurdaFYD9AM:&imgrc=O5b_1fIAHlMpEM: )











                                                                                                                                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar